Iskandar Hadrianto.
Oleh: Iskandar Hadrianto
“New Normal” adalah istilah dalam pendekatan ekonomi-bisnis, mengacu pada kondisi keuangan pasca-krisis ekonomi-keuangan pada 2007-2008 dan setelah terjadinya Resesi Global 2008-2012. Kini diadopsi masyarakat internasional guna menyikapi pandemi COVID-19, termasuk Indonesia.
Pola hidup New Normal bukan sekadar pemikiran, pola hidup, paradigma atau jargon. Tetapi harus melampaui realitas saat ini. Sebuah pandangan futuristik dengan segala konsekuensinya.
Kita sudah bosan mendengar berita-berita yang dibombardir media mainstream, celotehan netizen, propaganda politik maupun disinformasi para buzzers menanggapi atau berkomentar terkait issue COVID-19. Lockdown personal sejak akhir Februari 2020 ditambah puasa Ramadan semakin membuat banyak orang bertambah suntuk.
Apa tidak ada lagi masalah yang lebih penting dalam kehidupan ini? Mau mandeg akibat COVID-19? Untung kami selalu berusaha bertumpu pada positive thinking – menegasikan pemikiran-pemikiran sempit.
Menurut Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, yang harus diperhatikan pemerintah negara-negara dalam pelonggaran pembatasan terkait COVID-19 adalah mendidik, melibatkan, memberdayakan masyarakat untuk hidup dalam tata bab New Normal.
Pemerintah Indonesia minta agar masyarakat “berdamai” dengan COVID-19 dengan menggaungkan apa yang disebut sebagai New Normal. Pola hidup baru yang ditandai dengan penyesuaian perilaku di tengah pandemi COVID-19 dengan cara menjalankan protokol kesehatan dalam aktifitas keseharian.
Pemerintah sedang menyiapkan protokol untuk mengatur New Normal. Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy mengatakan, protokol New Normal ditujukan untuk mengatur tata cara berkumpul di luar rumah, bekerja, beribadah bersama, sampai dengan tata-cara makan di restoran.
Kondisi politik, ekonomi, sosial usai COVID-19 mendorong terjadinya perubahan sosial. Ini harus diwujudkan melalui institusi sosial secara rasional di Indonesia. Penekanannya pada komponen kritikal sosial yang melampaui batasan ideologis positifisme, materialisme, dan determinisme.
Manusia musti kembali ke pemikiran kritis, menekankan dialektika, dan kontradiksi sebagai properti intelektual yang melekat pada pemahaman terhadap realitas material. Rakyat Indonesia sebagai masyarakat madani harus diberdayakan melalui “pendidikan sosial kemasyarakatan”. Pada strata pedesaan Indonesia, pernah punya Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa atau LKMD. Dalam konteks ini, penting adanya pemahaman bahwa paradigma yang ada telah bergeser.
Pada tataran Internasional muncul gejala Tata Dunia Mutakhir atau TDM sebagai pengganti New World Order atau Tata Dunia Baru, yang didengungkan sebelumnya terkait ekonomi global pasca WTO. TDM mengisyaratkan credo futuristik “Sante, Fraternite et Egalite” atau hidup sehat dan persaudaraan didasarkan kesamaan.
TDM telah menjungkirbalikkan norma, tata nilai kehidupan yang sebelumnya kita akrabi, kita rengkuh dan jadikan “pemujaan”. Termasuk waham kapitalisme yang dikendalikan modal trans-multinasional enterprises, para taipan, cukong, dan SRI atu Super Rich Individuals.
Ekonomi global yang dikendalikan konglomerasi, hanya mementingkan untung-rugi, menepis esensi kemanusiaan. Tentu saja juga menepis esensi agama dan menafikan hakekat ketuhanan.
Bukankah Manusia Indonesia secara umum beragama? Lantas kenapa kini nilai-nilai religi menipis di tengah ketidakpastian. Untuk menyikapi COVID-19, paradigma ilmiah harus dibarengi paradigma religi. Rasa percaya bahwa semua derita pasti ada akhirnya.
Pandemi sebagai siklus kehidupan. Dunia perlu di-recharge Tuhan dan manusia perlu re-install istilah ICT-nya. Program lama, spam kita hapus dari komputer kehidupan. Mulai dengan mengunduh program-program baru guna menyongsong masa depan peradaban kemanusiaan.
Sebagai konklusi , berpikir dan bertindak konstruktif, menolak paradigma yang trivial-defaitis atau keputusasaan. Sinergi pemahaman scientific-religious mutlak dibutuhkan warga negara dalam menyikapi pola hidup New Normal. Sebab pada galibnya, New Normal bukan sekedar kembali kepada rutinitas sebelum pandemi COVID-19 menyerang seluruh sendi-sendi bangsa sampai ke darah dan tulang sumsum.
Diperlukan ‘mindset’ bangkit kembali dari serangan Covid-19 via jangkauan futuristik; demi survival bangsa Indonesia. Kata kuncinya, yang bisa dianggap sebagai executive summary, secara singkat adalah penekanan pada pentingnya prosedur dan protokol dalam menapaki pola hidup New Normal.
*) Alumni Salzburg Diplomatic Academy, UN University Leadership Academy.
**) Mantan Diplomat- Anggota delegasi pada Konperensi Perlucutan Senjata (Disarmament).