Terakota pecahan miniatur candi yang tersimpan di Museum Kreweng.(Foto: Al Anshori)
DISEMUA.COM – Kabupaten Sidoarjo dulunya bernama Kadipaten Terung di bawah Kerajaan Majapahit. Daerah tersebut dipimpin seorang Adipati bernama Raden Husain yang beragama Islam. Hingga kini, sisa-sisa kejayaan Kadipaten Terung masih bisa dijumpai di Desa Terung Wetan, Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur.
Di sana, terdapat Museum Kreweng. Tempatnya cukup sederhana. Bahkan mirip pekarangan dengan banyak tumbuhan. Di bagian depan museum, terdapat gapura yang terbuat dari bambu. Tumpukan daun kering menjadi atap gapura tersebut.
Setelah melewati gapura, pengunjung dapat menyaksikan pecahan-pecahan ornamen kuno dari peninggalan situs sejarah Kadipaten Terung. Barang-barang itu diletakkan di atas meja. Setiap pecahan ornamen diberi keterangan agar pengunjung mudah mengenalinya. Antara lain pecahan tembikar, pecahan keramik asal Tiongkok, umpak tanah liat, dan masih banyak lagi
Begitulah kondisi Museum Kreweng. Maklum, pendiriannya atas inisiatif warga yang peduli atas peninggalan bersejarah. Mereka bertekad untuk mengumpulkan barang-barang sisa kejayaan Kadipaten Terung sebagai pintu gerbang Kerajaan Majapahit.
Menurut warga dan pencinta komunitas situs purbakala, pemakaian kata “kreweng” berasal dari temuan pecahan ornamen di lokasi. Kata “kreweng” dalam bahasa Jawa berarti pecahan-pecahan barang. Jadi, tempat untuk menyimpan barang-barang peninggalan Kadipaten Terung itu dinamakan Museum Kreweng.
Meski sederhana, Museum Kreweng banyak dikunjungi warga. Tempat tersebut cocok untuk menambah pengetahuan tentang sejarah. Di sana, juga ditemukan situs struktur bangunan berbentuk tumpukan batu bata yang diduga sebagai tempat berdirinya Kadipaten Terung.
Perangkat Desa Terung Wetan Saneko mengatakan, Museum Kreweng akan terus dikembangkan. Harapannya bisa menjadi sarana edukasi bagi generasi muda. “Warga mendukung sekali, terutama dari pihak desa. Ke depan mungkin diperbesar lagi kalau banyak penemuan-penemuan,” ucapnya.
Masyarakat berharap pemerintah ikut berperan dalam melestarikan peninggalan Kadipaten Terung. Selama ini, warga beserta komunitas pencinta sejarah berjuang sendiri untuk mengumpulkan dan merawat peninggalan bersejarah tersebut.
Sementara dari keterangan yang dihimpun dari berbagai sumber, Raden Husain pernah memimpin Kadipaten Terung pada masa Prabu Brawijaya V, ayah kandung Raden Patah. Kadipaten Terung diperkirakan musnah setelah terkena aliran lahar dingin letusan Gunung Penanggungan beberapa abad lalu. Hal itu bersamaan dengan runtuhnya Kerajaan Majapahit yang pindah ke Kediri di bawah pemerintahan Girindawardhana.
Bukti di Krian merupakan bekas Kadipaten Terung adalah ditemukannya makam Raden Husain yang masih terpelihara keasliannya. Ditemukan pula bekas bangunan candi berbentuk huruf L yang terbuat dari batu bata.
Tidak sulit untuk menemukan makam Raden Husen. Letaknya di belakang Masjid Baiturrohim, Desa Terung Kulon. Makamnya terbuat dari batu bata bersusun. Keaslian makam hingga kini masih terjaga. Warga benar-benar menjaganya dengan baik dan tidak berani membangun. Dinas purbakala pun, memberikan papan pengumuman untuk tidak boleh mengubah atau memindah. Karena akan mendapatkan hukuman dan denda.
Meski makam Raden Husen bernilai sejarah, namun tak banyak yang mengunjunginya. Hal ini karena masyarakat banyak yang belum mengetahui secara luas seorang adipati zaman kerajaan yang beragama Islam.
Juru kunci makam, Anas Fakhrudin mengatakan, Raden Husain adalah anak dari hasil pernikahan Retno Subanci (putri Tiongkok) dengan Adipati Palembang Prabu Arya Damar. Perkawinan itu merupakan hadiah dari Prabu Brawijaya V (Kertawijaya).
Tidak diketahui secara pasti angka tahun yang terpahat di batu nisan. Untuk makam Raden Husain, tumpukan bata terlihat lebih tinggi. Sedangkan makam di sampingnya dibuat agak rendah.
Dulunya, di sekitar makam berdiri pagar batu merah kuno setinggi 3 meter. Tingginya membujur ke Utara hingga kebun bambu membelok ke Barat. Kemudian membelok ke Selatan di samping kebun bambu. “Pagar itu bukan buatan Majapahit, tapi dibangun sekitar 1965. Karena sudah lapuk dan membahayakan akhirnya dirobohkan,” katanya.
Pada 2006, warga menanyakan ke BPCB Trowulan tentang makam siapa yang ada di Terung. “Setelah tim ke sini, bentuk nisan memiliki kesamaan dengan yang di Troloyo Trowulan. Akhirnya setelah diteliti, benar ini situs petilasan Raden Husain. Sejak saat itulah mulai dibuat sebagai tempat cagar budaya,” jelasnya.
Baca Juga: Situs Bersejarah Jujukan Tokoh Nasional