Presiden Jokowi (dasi merah) saat bersama Joe Biden.(Foto: Istimewa)
Oleh: Taufik Darusman
Kurang dari 12 jam setelah mantan Wapres AS Joe Biden dinyatakan menang Pilpres AS 2020, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengirim pesan kepadanya. “Selamat kepada @JoeBiden dan @KamalaHarris dalam pemilu historis ini. Kemenangan besar ini adalah refleksi dari harapan atas demokrasi,” demikian tulis Jokowi dalam akun Instagramnya.
Keputusan dini untuk mengucapkan selamat kepada Biden, dapat dilihat sebagai upaya Jokowi untuk secepatnya mulai menarik garis pemisah antara Indonesia dengan AS di bawah Presiden Donald Trump – Ia akan mengakhiri jabatannya pada awal Januari –. Serta secepatnya pula mulai menjalin hubungan dengan Biden.
“Saya menantikan kerja sama untuk memperkuat kemitraan strategis Indonesia-AS dan mendorong kerja sama di bidang ekonomi, demokrasi dan multilateralisme bagi kepentingan rakyat kedua negara,” tambah Jokowi dalam pesannya.
Pada awal tahun, dalam rangka memperingati 70 tahun hubungan RI-AS, saya sebagai (ketika itu) Pemred Forbes Indonesia mewawancarai Dubes AS di Indonesia Joseph R. Donovan Jr. Ia mengatakan, “Indonesia dan Amerika Serikat adalah sahabat dan mitra yang alamiah. Kita memiliki nilai-nilai yang sama perihal hak asasi manusia, toleransi dan sikap moderat. Hubungan kedua negara berpijak pada fondasi yang khusus dan solid.”
Sejarah Hubungan yang Panjang
Kilas balik tujuh dekade hubungan RI-AS ibarat suatu perjalanan roller coaster politis lengkap dengan tikungan dan tanjakan yang sulit ditebak. Pada akhir 1940-an, misalnya, AS mendukung kemerdekaan Indonesia dan menuntut penjajah Negeri Belanda menarik diri dari nusantara. Namun pada pertengahan 1950-an, pemerintah Eisenhower memandang Presiden Indonesia pertama Soekarno sebagai pro-komunis.
Ia kemudian memutuskan untuk mendukung gerakan separatis Permesta yang ingin menggantikan Soekarno. Bahkan mengirimkan bomber B-26 berikut pilot untuk bergabung dengan para pemberontak di Indonesia bagian Timur.
Satu pesawat bomber dan pilotnya, Allen Pope, ditembak jatuh pada Mei 1958 dan ditangkap di sebuah pulau kecil di Ambon Barat oleh (ketika itu) ALRI. Pengadilan menjatuhkan hukuman mati kepada Pope, karena keterlibatannya telah menewasakan 17 anggota angkatan perang Indonesia dan enam pegawai sipil.
Pada 1962, Presiden AS John Kennedy mengutus adiknya, Jaksa Agung Robert Kennedy, untuk melakukan kunjungan persahabatan ke Indonesia. Sekaligus memohon kepada Soekarno agar Pope dibebaskan. Berkat kebesaran hati Soekarno, Pope diizinkan meninggalkan Indonesia beberapa bulan kemudian. (Sebagai penghargaan atas itikad baik Soekarno, Kennedy menghadiahkan pesawat Lockheed Jetstar)
Dalam waktu sama, Kennedy mulai cemas akan pengaruh (ketika itu) Uni Soviet di Indonesia dan mengintervensi dalam konflik RI-Negeri Belanda perihal Irian Barat (kini Papua). Kennedy melakukan tekanan kepada pemerintah Belanda dalam suatu langkah yang berakhir dengan Irian Barat dikuasai Indonesia pada 1969.
Pada pertengahan 1960-an, hubungan RI-AS kembali mencapai titik rendah. Tepatnya ketika Indonesia menentang dibentuknya Malaysia yang didukung kekuatan Barat. Sentimen anti-AS juga meningkat pada saat yang sama, akibat eskalasi keterlibatannya dalam perang di Vietnam dan meningkatnya kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketika satuan militer pro-komunis melakukan kudeta pada 30 September 1965, upaya itu digagalkan Mayjen Soeharto. Ia kemudian memerintah Indonesia selama lebih dari tiga dekade. Washington secara terselubung tapi pasti mendukung Soeharto. Dalam tempo beberapa bulan, kedua negara kembali menjalin hubungan erat.
“Indonesia kini berada pada jalur yang benar karena ‘tiga hijau’ berada di pihak kami melawan kekuatan komunis. Yaitu, militer (berseragam hijau), golongan Islam (warna tradisionalnya adalah hijau), dan (Dubes AS di Indonesia) Marshall Green,” ujar aktivis ternama Rahman Tolleng pada 1966, saat para mahasiswa bergerak untuk menumbangkan Soekarno. Ketika itu dilihat sebagai biang keladi dari seluruh malapetaka politik dan ekonomi Indonesia.
Trump Keluar, Biden Masuk
Hingga saat-saat terakhir, tampaknya pemerintah masih memberikan kans 50-50 kepada Trump untuk memenangkan Pilpres AS. Bulan lalu saja, Jokowi masih mengizinkan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto menemui rekannya di Pentagon, Mark Esper – Trump memecatnya minggu lalu – guna membahas kerja sama militer antara kedua negara.
Pada bulan yang sama, pemerintah masih berkenan menerima kunjungan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo ke Jakarta. Ia datang dengan sumbangan 1.000 ventilator. Ini bagian dari bantuan AS yang konon bernilai US$12,5 juta, guna mengatasi pandemi virus Corona.
Tetapi di balik kunjungan itu, ada upaya AS untuk menandingi pengaruh Tiongkok dengan merangkul Indonesia. Sebagai pemanis, AS pada akhir Oktober memperpanjang pemberian fasilitas Generalized System of Preferences (GSP) kepada Indonesia. GSP merupakan fasilitas perdagangan berupa pembebasan tarif bea masuk yang diberikan secara unilateral oleh AS kepada negara-negara berkembang di dunia sejak 1974.
Indonesia pertama kali mendapatkan fasilitas GSP dari AS pada 1980. Terdapat 3.572 pos tarif yang telah diklasifikasikan US Customs and Border Protection (CBP) pada level Harmonized System (HS) 8-digit yang mendapatkan pembebasan tarif melalui skema GSP. Adapun 3.572 pos tarif tersebut mencakup produk-produk manufaktur dan semi-manufaktur, pertanian, perikanan dan juga industri primer.
Berdasarkan data statistik dari United States International Trade Commission (USITC) pada 2019, ekspor Indonesia yang menggunakan GSP mencapai US$2,61 miliar. Angka itu setara 13,1 persen dari total ekspor Indonesia ke AS sebesar US$20,1 miliar.
Sedangkan periode Januari-Agustus 2020 di tengah pandemi, nilai ekspor Indonesia yang menggunakan fasilitas GSP tercatat US$1,87 miliar. Nilai itu naik 10,6 persen dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.
Lalu bagaimana para ekonom kita menyikapi kemenangan Biden? Mereka pada umumnya menyambut Biden yang dilihat akan menenangkan pasar global dengan membekukan perang dagang antara AS dengan Tiongkok dan negara mitra dagangnya.
Menurunnya tensi perang dagang antara AS dengan Tiongkok akan berimbas terhadap naiknya permintaan barang dari Indonesia. Ini pada gilirannya akan mendongkrak harga komoditas Indonesia, diikuti dengan penguatan nilai tukar rupiah. Namun di sisi lain, perang dagang AS-Tiongkok yang mereda dapat membuat perusahaan-perusahaan AS enggan memindahkan pabriknya dari Negeri Tirai Bambu ke negara lain seperti Indonesia.
Hubungan RI-AS adalah kisah yang panjang. Tampaknya akan demikian pula di masa mendatang dengan ditandai kepentingan masing-masing yang belum tentu bertemu pada satu titik.
*) Wartawan senior yang bermukim di Tangerang